Sayangnya, kepentingan masyarakat seringkali terabaikan manakala dihadapkan dengan kepentingan modal dan kapital. Hal ini bisa kita tilik pada kasus penambangan dan pendirian pabrik semen di rembang yang wacananya sudah bergulir sejak tahun 2014. Dimana, rencana penambangan dan pendirian pabrik Semen di Rembang tidak melibatkan masyarakat sekitar yang terdampak oleh proyek tersebut. Masyarakat sekitar Rembang merasa tidak pernah mendapat sosialisasi tentang rencana penambangan dan pendirian pabrik semen. Kalaupun ada, hanya terbatas kepada para perangkat desa yang itupun tidak pernah disampaikan kepada warga masyarakat setempat.
Keberatan masyarakat sekitar terhadap proyek penambangan dan pendirian pabrik Semen diantaranya adalah karena pihak pabrik semen tidak pernah menyampaikan dokumen AMDAL (Analisa Mengenai Dampak Lingkungan) atau dampak negatif yang ditimbulkan oleh proyek kepada masyarakat. Selain itu terdapat dugaan pelanggaran hukum yang dilakukan oleh pihak pabrik semen sebagai berikut:
- Penggunaan kawasan Cekungan Air Tanah Watuputih sebagai area batuan kapur untuk bahan baku pabrik semen melanggar Perda Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi Jawa Tengah Nomor 6 Tahun 2010 pasal 63 yang menetapkan area ini sebagai kawasan lindung imbuhan air dan Perda RTRW Kabupaten Rembang Nomor 14 Tahun 2011 pasal 19 yang menetapkan area ini sebagai kawasan lindung geologi.
- Semen Indonesia menebang kawasan hutan Kadiwono kecamatan Bulu seluas lebih dari 21,13 hektar untuk tapak pabrik yang bertentangan dengan persetujuan prinsip tukar menukar kawasan hutan oleh Menteri Kehutanan, Nomor S. 279/Menhut-II/2013 tertanggal 22 April 2013.
- Perda No 14 tahun 2011 tentang RTRW Kabupaten Rembang Kecamatan Bulu tidak diperuntukkan sebagai kawasan industri besar.
- Ditemukannya 109 mata air, 49 gua, dan 4 sungai bawah tanah yang masih mengalir dan mempunyai debit yang bagus, serta fosil-fosil yang menempel pada dinding gua menguatkan bahwa kawasan Watuputih harus dilindungi.
- Proses produksi semen berpotensi merusak sumber daya air yang berperan sangat penting bagi kehidupan warga sekitar Rembang dan Lasem yang menggunakan jasa Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) dengan mengambil air dari gunung Watuputih.
- Kebutuhan lahan yang sangat luas untuk perusahaan dan pabrik semen juga akan berdampak pada hilangnya lahan pertanian, yang mengakibatkan hilangnya pekerjaan petani dan buruh tani serta menurunkan produktivitas sektor pertanian di wilayah sekitar karena matinya sumber mata air, polusi debu dan rusaknya keseimbangan ekosistem.
Berikut adalah kronologi penolakan warga dan aksi Kartini-Kartini Rembang:
- Tanggal 16 juni 2014, warga Rembang membuat Aliansi Warga Peduli Pegunungan Kendeng menolak penambangan dan pendirian pabrik semen di Rembang. Dalam aksinya tersebut masyarakat Rembang mengajak masyarakat luas yang peduli mengirimkan SMS kepada Ganjar Pranowo selaku Gubernur Jawa tengah di nomer 0811-990-0931 yang isinya:“Bapak Gubernur Jawa Tengah Yth, Saya mendukung perjuangan warga pegunungan kendeng utara di Rembang menolak tambang PT Semen Indonesia. Kami meminta Bapak membatalkan rencana peletakan batu pertama tambang PT Semen Indonesia di Rembang. Kami juga menuntut TNI dan Polri ditarik dari rencana tapak tambang. Terimakasih – …..nama, lembaga/alamat…”
- Agustus 2014, warga Rembang yang dimotori oleh ibu-ibu (Kartini-Kartini Rembang) membuat tenda dan bertahan di tenda perjuangan di Watu Putih. Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo menyarankan ibu-ibu tidak bertahan di tenda tersebut dan menyarankan agar menggugat keputusan Gubernur tahun 2012 soal ijin pembangunan pabrik semen dan penambangan kapur di Watu Putih. Gubernur mengatakan bahwa jika hasil keputusan pengadilan memutuskan bahwa surat ijin itu tidak layak maka akan dicabut, tetapi jika sidang memutuskan bahwa ijin tersebut layak Gubernur menghimbau masyarakat mengikuti keputusan tersebut.
- Tanggal 6 April 2015, Sembilan Kartini dari Rembang menuju Gedung Istana Merdeka Jakarta untuk bertemu dan meminta Presiden Jokowi menghentikan pendirian pabrik semen dan menagih janjinya dalam Pilpres tahun lalu untuk menciptakan kedaulatan pangan.
Dalam aksinya,“Sembilan Kartini dari Rembang” itu memakai pakaian tradisional petani lengkap dengan lesung penumbuk padi. Dalam kesederhanaannya mereka mengajarkan bagaimana warga Rembang pada umumnya, serta ibu-ibu dan perempuan Rembang pada khususnya sangat gigih mempertahankan kampung halamannya dari dampak kerusakan lingkungan akibat pendirian pabrik dan bagaimana Kartini-Kartini dari Rembang ingin mengetuk hati nurani para petinggi negeri ini agar mendukung sepenuhnya kepentingan masyarakat luas dan menolak pembangunan pabrik semen yang hanya berpihak kepada kepentingan modal. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar