Laman

Senin, 02 Januari 2017

Dukung RUU PPRT segera disahkan

Pengesahan RUU PPRT dinilai sangat mendesak karena sampai sekarang masih banyak permasalahan yang dialami oleh pekerja rumah tangga (PRT) terkait pemberian hak-haknya dan kasus kekerasan yang terus-menerus menimpa PRT.

Karena itu, melihat pentingnya RUU tersebut segera disahkan menjadi undang-undang, Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga (Jala PRT) dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta mendesak DPR periode 2014-2019 untuk memasukkan RUU PRT dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) serta segera mengesahkan menjadi undang-undang.

Pengesahan RUU tersebut dinilai mendesak karena masih banyak permasalahan yang dialami PRT terkait pemberian hak-haknya dan kasus kekerasan. Berdasar laporan Jala PRT pada tahun 2014 terjadi 408 kasus kekerasan terhadap PRT. Sebanyak 90 persen merupakan multikasus mulai dari kekerasan fisik, psikis, ekonomi dan perdagangan manusia, dengan pelaku majikan dan agen penyalur. Dari seluruh kasus tersebut, 85 persen terhenti proses hukumnya di kepolisian. Hal itu dinilai tidak menimbulkan efek jera sehingga kekerasan terhadap PRT terulang.

Lita Anggraini aktifis JALA PRT menjelaskan bahwa pemberian hak-hak PRT harus dilakukan dengan mengakui bahwa PRT adalah pekerja. Selama ini, PRT tidak dianggap sebagai pekerja sehingga hak-haknya diabaikan, seperti upah yang layak dan tak adanya hari libur bagi PRT. Hak lain yang selama tidak diperoleh PRT adalah jaminan sosial ketenagakerjaan. Karena tidak diakui sebagai pekerja maka selama ini PRT tidak mendapatkan jaminan sosial ketenagakerjaan. Karena itu, bila Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) disahkan, maka RUU tersebut harus mengatur keikutsertaan PRT dalam Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan. Hak PRT untuk berkomunikasi dan berorganisasi juga selama ini tidak pernah diberikan.

Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) sudah ada selama 10 tahun atau dua periode di DPR, tetapi sampai sekarang tak kunjung dibahas. Terkesan ada tarik ulur kepentigan yang cukup kuat di dalam parlemen sehingga RUU tersebut tak kunjung dibahas dan disahkan. DPR di Komisi IX dan Badan Legislasi banyak yang tidak profesional dalam membahas RUU PPRT sehingga tak kunjung disahkan menjadi undang-undang.

Hambatan atas pengesahan RUU PPRT adalah karena selama ini DPR yang punya ranah dalam mengesahkan RUU tersebut tidak menempatkan diri sebagai anggota DPR, tetapi justru menempatkan diri sebagai majikan sehingga mereka berpikir bahwa RUU itu bisa berdampak kepada mereka sebagai majikan yang harus memberikan upah yang lebih besar.

Adanya anggapan bahwa hubungan kerja antara majikan dengan PRT yang bersifat kekeluargaan juga menjadi kendala tersendiri. Sehingga dengan disyahkannya RUU PPRT dikhawatirkan bisa merusak hubungan kekeluargaan yang menjadi ciri Indonesia. Padahal jika kita mengakui hak-hak PRT sebagai pekerja maka pandangan keliru di atas haruslah segera dibenahi dan diubah. PRT harus diakui sebagai pekerja yang hak-haknya harus diberikan dan jangan dianggap sebagai relasi keluarga yang mensyahkan PRT tidak dibayar layak. ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar