“Dan
begitulah mereka duduk, satu dan lainnya, dengan si lelaki dalam kedudukan
sedikit miring di antara kedua kakinya. Mereka memamah sirih sepenuhnya sambil
goyang bersetubuh, menutup mata menyelaraskan diri dengan turunnya lingga buta
ke jurang liang sanggama.” (Halaman 135)
Sebuah buku yang sangat kontroversial dan nakal, di dalamnya kita menemukan syair dalam tembang-tembang Jawa penuh dengan guratan-guratan syahwat yang syarat makna.
Naskah maha karya Jawa
itu diberi nama Suluk Tembangraras. Dalam kisah
pewayangan, suluk adalah ‘suara meninggi’,
sebuah istilah yang mengacu pada sastra gaib Jawa kurun Islam. Adapun
Tembangraras adalah istri si tokoh utama. Namun orang umum lebih suka menyebut
naskah ini dengan Serat Centhini.
Centhini adalah
nama abdi Tembangraras, sehingga terkesan melecehkan mahakarya ini yang menyebut nama seorang abdi untuk mengisahkan tokoh Tembangraras. Penyebutan Centhini ini dimaknai sebagai upaya teraling dan makar yang dengan sengaja mengangkat wong cilik menjadi tokoh sohor. Namun, demikian menandakan adanya suatu keakraban, kedekatan yang menyentuh antara para
pembaca dengan mahakarya Jawa ini.
Serat
Centhini menembangkan
pengembaraan Amongraga. Seorang pangeran muda yang terpaksa kabur meninggalkan Kerajaan
Giri, setelah kerajaan Islam itu diserbu oleh Sultan Agung pada awal abad
ke-17. Dalam perjalanan spriritualnya, Amongraga bertemu berbagai macam-macam
manusia: pedagang keliling, para penembang, penggamel, ledhek, warok, gemblak,
sastrawan, sufi, pelacur, petapa Budha-Siwa, pandai besi, dukun, guru
kanuragan, kecu, segala orang bebas, pelarian, paria yang di luar kekuasaan,
menenun serta mengutak-atik jaring khayal syahwat dan roh Tanah Jawa.
Beranjak dari syahwat
yang ragawi –Amongraga dan Tembangraras melewatkan malam-malam pengantinnya
selama empat puluh malam– menjadi jinak satu terhadap lainnya dalam
ketelanjangan tubuh mereka, dan menyingkap cadar roh mereka dengan ketegangan
syahwat serta batin.
“Ketika
malam ketigapuluh delapan tiba, di haluan ranjang, Tambangraras telanjang
bersembah: Oh, Apiku, di tengah salatku, kudengar hening. Apakah bening itu?
Oh, Sariku! Hening adalah guru yang menarik diri beserta Kitabnya, karena meski
dialah yang memulai tembangnya, engkau sendirilah yang harus
menyelesaikannya.” (Halaman
262)
Tahun 1814, di Keraton
Surakarta, Pengeran Anom Hamengkunegara III memerintahkan ketiga pujangga
Keraton untuk menyusun Serat Centhini, yang
berisi cerita-cerita lama tentang ilmu-ilmu alam dan gaib Jawa. Baru setelah
empat puluh tahun sejak penyusunannya, yaitu tahun 1850, Susuhunan ketujuh
Surakarta menghadiahkan naskah maha karya Jawa ini kepada Ratu Belanda apa
adanya, jilid lima hingga sembilan. Ditengarai jilid sembilanlah yang paling nakal
dan konon disusun sendiri oleh Sang Pangeran.
Buku Centhini, Kekasih yang Tersembunyi merupakan
terjemahan dari bahasa Perancis oleh Laddy Lesmana bersama E.D. Inandiak dan
diterbitkan oleh Kepustakaan Populer Gramedia, tahun 2015. Buku ini
menggambarkan pengembaraan edan luar biasa, terdiri dari 4.200 halaman, 722 tembang, 200.000 bait lebih yang
naskah aslinya sudah tiada lagi. Naskah asli maha karya sastra Jawa ini telah
sekarat bersama meninggalnya Pangeran Anom Hamengkubuwono III, di tahun ketiga
pemerintahannya sebagai Susuhunan Paku Buwono kelima.
Inandiak terbentur kesulitan ketika menerjemahkan Serat Centhini dari bahasa
Jawa ke Indonesia, lalu dari bahasa Indonesia ke Perancis. Karena bagi sebagian ahli Jawa, Serat Centhini dianggap
suatu karya yang terlalu suci untuk diterjemahkan. Sedangkan bagi pakar yang
lain Serat Centhini dianggap terlalu kotor. Sampai
akhirnya dia bertemu Ibu Sunaryati Sutanto, bekas murid Dr. Zoetmulder yang
dengan senang hati menerjemahkannya dari bahasa Jawa ke bahasa Indonesia.
Buku kesembilan yang
paling terkenal diantara kedua belas jilid lainnya hampir semua berisi tentang
syahwat. Tetapi banyak yang memberikan pembelaan, buku kesembilan ini justru berisi ajaran
rohani yang cemerlang , seperti ajaran tentang topeng di tembang ke 128 yang
menceritakan kisah Joko Bluwo. Juju Masunah dalam Sawitri, Penari Topeng Losari
(Tarawang, Yogyakarta 2000) menceritakan bahwa tahun 1996 pernah mengundang
Sawitri untuk membawakan satu tari topeng untuk ulang tahun putrinya. Saat itu
Sawitri berusia 70 tahun, namun anehnya, begitu tersentuh topeng maka tubuhnya yang
sudah tua berubah menjadi seorang pria belia nan gagah.
‘’…pria
yang menarikan sang Panji sebenarnya adalah putri tunggal Ki Kadang… Retno
Ginubah namanya. Katanya setiap hendak menari ia puasa empat puluh hari, memohon
kepada Allah, kepada para malaikat, kepada nabi-nabi dan Walisongo agar
dijauhkan dari Budug Basu, lingga yang mengincar di belukar sukmanya, dan dari
Dewi Sri yang tiap pagi menyediakan semangkuk nasi untuknya dengan maksud
membatalkan puasanya.’’ (Halaman
314)
Tembang 136,
Tembangraras dan Centhini pergi dengan mengenakan pakaian laki-laki untuk
mencari Amongraga. Dandan jenis kelamin lain dan pembalikan merupakan ciri yang
sering muncul dalam Serat Centhini. Kita menemukan fenomena transvesti yakni
suatu peran yang bersifat “sementara” menjadi pria belia yang gagah. Padahal
dia adalah seorang penari cross gender yang
dalam kesehariannya tetap berpenampilan perempuan.
Selain fenomena
tranvesti dan cross gender, di buku ini juga
menceritakan keragaman orientasi seksual masing-masing tokohnya. Ada kaum
heteroseksual yang diwakili oleh tokoh utama Amongraga dan Tembangraras, ada
kaum biseksual yang diwakili oleh tokoh Cebolang dan Sawitri, serta kaum
homoseksual yang tergambar pada perilaku seks warok dan gemblaknya dalam budaya
Reog Ponorogo.
Dalam tembang 152, yang
merupakan tembang terakhir dari Serat Centhini terjadi penjungkirbalikan kisah. Sang tokoh yang menghabiskan sebagian besar hidupnya dengan kembara dan tapa, di
akhir cerita justru menitis sebagai sosok yang sama sekali lain. Begitulah setelah
4.000 halaman kembara dan tapa, Amongraga menitis kembali menjadi raja yang
hina dan haus darah. Hampir-hampir sebuah akhir yang sia-sia. Dia menitis menjadi Pangeran
Aria Mataram, yang paska penobatannya memerintahkan petani laki-laki dan
perempuan untuk kerja paksa membangun keraton baru dan menggali parit yang
dalam, sampai mata manusia tak bisa melihat tepinya. Ia menyuruh membunuh pamannya, Pengeran Pekik dan membantai semua ahli fikih Mataram, istri dan
anak-anaknya.
Salah satu
tafsir lain yang bisa kita pegang mengatakan bahwa Amongraga telah membakar semua nafsu yang
mengikatnya kecuali satu. Satu hal yang tak bisa dibuang adalah kepahitan menyaksikan ayahnya ditaklukkan
Sultan Agung. Bila kita renungkan, nafsu-nafsu yang membelenggu yang tidak
dapat kita bakar habis selama kehidupan kita akan menitis kembali. Dalam
reinkarnasi kehidupan selanjutnya maka kepahitan Amongraga semata yang menitis
kembali. Perasaan itu memenuhi semua ruang jiwanya dan menjadi raksasa
mengerikan. Dapatkah kepahitan itu hilang sendiri dalam diri raksasanya serta
membebaskannya dari samsara roda kehidupan? Atau sebaliknya, kepahitan akan
menyeret manusianya ke titisan yang paling rendah sehingga harus memulai lagi
semuanya dari nol.
Serat Centhini pada masanya ditulis terutama untuk
ditembangkan. Dalam sastra Jawa kuno, suara nitis pada penyair bagai suatu
wahyu yang datang terlebih dulu, baru kemudian lahirlah irama dan ragam
menemani si pujangga memasuki kata-kata. Penyesuaian antara irama, macapat dan
gema kata-kata itulah yang menciptakan makna suluk dan
keindahannya.
Di dalam syair-syair cabul, kekotoran dihalau terbang oleh
keanggunan tembangnya. Perpaduan antara lumpur dan emas itulah yang membentuk
watak dan sosok yang luar biasa serta khas Serat Centhini.
Kalau tembang dihilangkan, para pembaca akan tercebur ke dalam kubangan
comberan kata-kata dan amblas ke dalam lumpur untuk selamanya.
Onghokham, seorang
sejarawan Indonesia menyatakan dalam bahasa Perancis: “Centhini, e’est Rabelais!” (Centhini adalah Rabelai!). Kita tahu bahwa, Francois Rabelais lahir tahun 1494, menjadi rahib ordo Fransiskan, kemudian
pindah menjadi Benediktian, dan menangggalkan ikrar kerahibannya untuk menjadi
penyair gelandangan dan dokter. Buku-buku Rabelai tidak mengenal antara dunia
awam dan dunia keramat, antara yang ilmiah dan rakyat jelata, yang halus dan
kasar. Demikian pula Serat Centhini yang
menggambarkan kentut sebagai sesuatu yang bersifat pembebasan.
Sedangkan Gus Dur
menyatakan, Serat Centhini bukan milik
khusus orang Jawa, tetapi juga dikenal di Madura, di pesantren-pesantren,
terutama di Sumenep. Di sana ada satu variasi Centhini yang ditulis dalam
bahasa Jawa tetapi dengan huruf Arab berjudul: Pamongrogo dan Pamongroso. Setahun sekali, radio setempat menyiarkan
pembacaan Pamomongrogo dan Pamomongroso ini semalam suntuk.
Pembelajaran
yang bisa kita ambil dari buku ini adalah: kita tidak boleh memandang rendah
seseorang hanya karena latar belakang sosialnya. Si Centhini yang hanya seorang
abdi, ternyata mampu memasuki kehidupan sufi. Sementara Amongraga yang di masa hidupnya tak sedikitpun tergiur kehidupan dunia dan memilih
hidup yang hakiki, ternyata dalam reinkarnasinya justru menjadi raksasa yang
angkara murka. Demikian pula Cebolang yang sempat terbius dengan dunia kembara
syahwat di akhir hidupnya belajar mendapatkan ilmu kebahagiaan sejati dan rasa
hormat Ayah yang sempat ditinggalkannya.
Dalam buku ini kita juga bisa menemukan dialog antar umat beragama, di mana di beberapa babak terdapat
dialog dan persinggungan agama-agama Hindu, Islam, Budha-Shiwa serta ajaran
kebatinan Gatholoco yang menjadi kepercayaan asli Jawa. Terakhir, lewat
buku "Centhini, Kekasih yang Tersembunyi", Elizabeth D.
Inandiak, mencoba menghidupkan kembali suara-suara lirih Serat Centhini yang telah aus bersama memudarnya bahasa
Jawa.
Judul buku : Centhini, Kekasih yang Tersembunyi
Karya : Elizabeth D. Inandiak
Penerbit : Kepustakaan Populer Gramedia
Tahun Terbit : 2015
Tebal Buku : 407 Halaman
*Ditulis ulang dan pernah diterbitkan dalam http://www.suarakita.org/2015/12/resensi-centhini-kekasih-yang-tersembunyi/