Laman

Senin, 02 Januari 2017

Catatan Akhir Tahun 2014 dan Satu Dasawarsa UU PKDRT

Hari Selasa, 14 April 2015 bertempat di Hotel Sofyan, LBH APIK Jakarta me-launching Laporan Tahun 2014. Laporan LBH Apik Jakarta ini merupakan laporan kegiatan tahunan dalam melakukan pendampingan terhadap perempuan korban kekerasan serta kegiatan advokasi kebijakan yang membela kepentingan perempuan.

Ratna Batara Munti selaku Direktur LBH APIK Jakarta memberi sambutan sekaligus menyampaikan bahwa Catahu kali ini di launching bertepatan dengan hari Kartini tidak seperti tahun-tahun sebelumnya yang dilaunching setiap hari International Women’s Day. “Biasanya momen hari International Women’s Day sudah dipakai oleh Komnas Perempuan untuk meluncurkan Catahu (Catatan Akhir Tahun)”, kata Ratna Batara Munti. Selanjutnya Rinto Tri Harsowo mempresentasikan laporan tahun 2014 dengan judul: “Catahu 2014, Satu Dasa Warsa UU PKDRT, Jalan Panjang Perlindungan Perempuan.”

Dalam presentasinya Rinto menjelaskan bahwa jumlah laporan yang diterima oleh LBH Apik Jakarta pada tahun 2014 berjumlah 704 menurun dibanding pengaduan yang diterima pada tahun 2013 yang berjumlah 992 kasus. Sedangkan rata-rata laporan dalam kurun 2010-2015 adalah 796 pengaduan. Data laporan yang masuk ke LBH APIK Jakarta dan disajikan dalam Laporan Tahun 2014 ini tidak mencerminkan kondisi yang sebenarnya. Memang data yang masuk ke LBH APIK Jakarta tahun ini menurun, tetapi bisa jadi kasus yang tak terlaporkan di masyarakat jauh lebih banyak. Kondisi ini disebabkan karena pengaduan merupakan langkah terakhir dan terberat yang dipilih perempuan atau akumulasi dari penderitaan atau kekerasan yang dialaminya, rata-rata perempuan memilih diam dalam penderitaan, perempuan memilih mengajukan gugatan cerai dibanding dengan melaporkan kekerasan, dan terakhir kebanyakan perempuan memilih konseling ke tokoh agama, psikolog serta sahabat. Situasi inilah yang disebut dengan puncak gunung es kekerasan terhadap perempuan.

Dalam catahu 2014 ada beberapa kasus yang muncul, diantaranya adalah: KDRT, KDP, Kekerasan seksual (di luar KDRT dan KDP), pidana umum (pencemaran nama baik, penipuan, penganiayaan, pencurian), trafiking, perdata keluarga, ketenagakerjaan, penggusuran dan lain-lain. Dari beberapa pengaduan tersebut KDRT berada di peringkat teratas, yakni mencapai 74%.

Tahun 2014 usia UU PKDRT sudah memasuki usia satu dasa warsa sejak diundangkan pada tahun 2004. Kelahiran UU PKDRT ini merupakan buah perjuangan panjang dan gigih dari aktifis yang peduli terhadap kesetaraan dan keadilan gender serta hak-hak perempuan. Sebuah ikhtiar dari masyarakat sipil tentang bagaimana menciptakan bentuk formal perlindungan terhadap perempuan (istri dan anak-anak) dalam lingkup rumah tangga. Perjuangan panjang lahirnya UU PKDRT dimulai sejak gagasan awalnya digulirkan pada tahun 1997. Sebelum dinamakan RUU PKDRT berkali-kali mengalami perubahan nama. Semula RUU Anti Kekerasan Dalam Rumah Tangga, berganti menjadi RUU Anti Kekerasan Domestik dan setelah melalui pembahasan di DPR, RUU itu baru berubah nama menjadi Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT). Menilik perjalanan panjang proses dan praktek UU PKDRT, maka laporan 2014 LBH APIK Jakarta ini juga merupakan sebuah evaluasi terhadap implementasi UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga yang memasuki usia satu dasa warsa.

Hambatan dan tantangan dalam implementasi UU PKDRT selama satu dasa warsa ini menurut laporan 2014 LBH APIK Jakarta adalah: masih adanya pandangan keliru dari korban dan APH (Aparat Penegak Hukum) bahwa KDRT adalah aib keluarga dan bukan sebuah kejahatan; adanya penerapan sistem hukum yang keliru misalnya mediasi yang akhirnya korban harus berdamai dengan pelaku dan membuka peluang berulangnya kekerasan; belum ada kesepahaman APH mengenai pembuktian minimal dalam UU PKDRT, dalam proses pembuktian APH lebih menekankan pada alat bukti keterangan saksi serta proses hukum yang lambat dan memakan waktu lama.

Acara dilanjutkan dengan diskusi publik yang dimoderatori oleh Ninik Rahayu (Komisioner Komnas Perempuan 2009-2014) dengan mengundang narasumber Reza dari Kementerian Hukum Dan HAM, AKBP Endang Sri Lestari, SH. MH. dari Kanit PPA Polres Jakarta Timur, dan Poppy Retno Adji Prasetiaju dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. Nampak beberapa peserta sangat antusias mengikuti diskusi publik dan mengajukan beberapa pertanyaan kepada semua narasumber.

Sebagai rekomendasi akhir, Poppy Retno Adji Prasetiaju dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak mengusulkan solusi bagi maraknya KDRT yang berkembang di masyarakat sebagai berikut: “Kita perlu membuat kajian untuk mengembangkan konsep ketahanan keluarga dan peradilan keluarga serta merevisi UU No 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.” Menanggapi usulan Poppy untuk merevisi UU PKDRT tersebut Ratna Batara Munti, Direktur LBH APIK Jakarta tidak sepenuhnya setuju dengan usulan merevisi UU PKDRT. Menurut Ratna praktek dan penerapan UU PKDRT ini belum berjalan maksimal. Mungkin memang perlu ada beberapa perubahan dalam UU PKDRT, tetapi jika perubahannya hanya sedikit dan di bawah 50 %, maka yang diperlukan adalah melakukan amandemen terhadap UU PKDRT dan bukan merevisinya.

Dalam kesempatan ini pula LBH APIK Jakarta bersama Jaringan Kerja Prolegnas Pro-Perempuan (JKP3) sedang mendorong RUU Revisi KUHP dan RUU KUHAP dengan memperhatikan pengalaman pendamping dan perempuan korban kekerasan sendiri agar dibahas kembali di legislatif. Jaringan Kerja Prolegnas Pro-Perempuan (JKP3) adalah jaringan kerja yang dibentuk pada tahun 2005 dan terdiri dari 37 organisasi dan individu yang memiliki komitmen untuk mempromosikan sensitifitas gender dalam proses pembuatan kebijakan di parlemen. Adapun anggota JKP3 adalah sebagai berikut: APAB, Bupera SPSI Reformasi, ICRP, Institut Perempuan, Kaki Lima, Kalyanamitra, Institut KAPAL Perempuan, Asosiasi LBH-APIK Indonesia, LBH-Jakarta, Perempuan Mahardika, Sapa Indonesia, PKT-RSCM, PP Fatayat NU, Allimat, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK), Puan Amal Hayati, Yayasan Pulih, Rahima, Rekan Perempuan, Rumah Kita, Rumpun Gema Perempuan, Solidaritas Perempuan Nasional, Yayasan Kesehatan Perempuan (YKP), Koalisi Perempuan Indonesia untuk Keadilan, Migrant Care, Women Research Institute (WRI). ***

Jakarta, 14 April 2015.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar