Laman

Senin, 02 Januari 2017

RUU Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan

Ina soro budi, Budi noro apadike,
Pai Pana Ponu, Tehama hama
(Laut itu seperti ibuku, yang membesarkan dan menjagaku,
sehingga sudah menjadi kewajibanku untuk menjaganya)


Kehidupan perempuan nelayan hingga kini masih memprihatinkan. Di bidang kesehatan dan lingkungan, perempuan nelayan sulit mendapatkan air bersih yang layak dan aman dikonsumsi. Hal ini mengakibatkan tingginya angka kematian bayi dan balita karena diare di kampung nelayan yang mengkonsumsi air tercemar.

Perempuan nelayan terpaksa menghabiskan lebih dari setengah pendapatannya untuk membeli air bersih, demi memenuhi kebutuhan rumah tangga. Buruknya sanitasi dan pengelolaan limbah, serta kondisi rumah yang tidak memenuhi standar layak huni mengakibatkan sebagian besar anak-anak dan orang dewasa di kampung nelayan dihadapkan pada penyakit infeksi saluran pernafasan akut (ISPA), penyakit kulit dan tubercolusis (TB). Ketiadaan pusat pelayanan kesehatan dan tenaga medis mengakibatkan berbagai masalah kesehatan yang tak tertangani, serta tak terpenuhinya kebutuhan layanan kesehatan reproduksi nelayan perempuan serta persalinan yang aman. Hal ini tentunya menambah beban kerja perempuan nelayan di bidang perawatan dan pemeliharaan kesehatan anggota keluarga nelayan.

Negara yang diharapkan menyelesaikan masalah perempuan nelayan justru melakukan diskriminasi terhadap perempuan nelayan. Diskriminasi terhadap perempuan nelayan dilakukan negara sejak pendefinisian tentang nelayan dalam peraturan perundang-undangan. Sejak diterbitkannya Undang-undang Nomor 9 Tahun 1985 tentang Perikanan, pengertian istilah nelayan adalah orang yang mata pencahariannya melakukan penangkapan ikan (Pasal 1 butir 10, UU No 9 tahun 1985), maka sejak itulah keberadaan nelayan perempuan tidak diakui oleh negara.

Karena sebagian besar perempuan nelayan tidak melakukan penangkapan ikan, melainkan melakukan pekerjaan pengolahan hasil laut, budi daya ikan dan rumput laut serta pekerjaan-pekerjaan lain yang berhubungan dengan perikanan dan kelautan. Sementara itu faktanya, kaum nelayan adalah setiap orang, laki-laki maupun perempuan yang menggantungkan kehidupannya kepada laut dan pesisir.

Hilangnya keberadaan perempuan nelayan sebagai akibat dari pendefinisian nelayan sebagaimana UU No 9 tahun 1985 berakibat perempuan nelayan luput dari perencanaan program dan kegiatan, perumusan target penerima manfaat program dan tidak adanya data pilah jumlah perempuan nelayan dan laki-laki.

Hal-hal diataslah yang mendasari diadakannya kegiatan Seminar Advokasi RUU Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan yang diselenggarakan oleh Koalisi Perempuan Indonesia Untuk Keadilan dan Demokrasi (KPI) di Hotel Ambhara pada hari Selasa, tanggal 5 Mei 2015 beberapa hari yang lalu.

Riza Damanik salah seorang narasumber dari Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) menyatakan bahwa, RUU Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan ini diinisiasi oleh beberapa organisasi dan sedang diperjuangkan agar bisa masuk dalam pembahasan Prolegnas 2015. Dalam kesempatan itu pula KNTI dan KIARA mengajak KPI dan organisasi masyarakat lainnya untuk mendukung RUU Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan agar masuk dalam Prolegnas 2015.

Sementara itu, Abdul halim dari Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) menegaskan bahwa, Negara belum mengakui dan melindungi keberadaan dan peran perempuan nelayan. Kendati berkontribusi besar, nasib perempuan nelayan masih memprihatinkan. Pemberdayaan sangat minim. Padahal, mereka berpotensi memperkuat pilar penghidupan keluarga.

Dalam kesempatan yang sama Bibik Nurudduja, Presidium Nasional Kelompok Kepentingan Pesisir Nelayan Koalisi Perempuan Indonesia untuk Keadilan dan Demokrasi berharap agar negara mau mengalokasikan dana APBN bagi kepentingan nelayan kecil, nelayan tradisional termasuk perempuan nelayan. APBN kita menganggarkan dana sebesar 10,6 Trilyun di sektor perikanan dan kelautan, akan tetapi alokasi untuk nasib nelayan kita hanya 2,5 %. Sehingga semestinya alokasi anggaran untuk kepentingan masyarakat nelayan bisa lebih ditingkatkan lagi.

Hadir pula Ketua Komisi IV DPR RI Edi Prabowo yang berkomitmen memperjuangkan RUU Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan untuk masuk dalam Prolegnas 2015, akan tetapi Edi berharap kepada KPI, KNTI dan KIARA untuk juga mensosialisasikan RUU tersebut kepada 10 fraksi yang ada di Komisi IV DPR RI, di samping meminta dukungan dari Kementerian Perikanan dan Kelautan untuk bersama-sama mengawal agar muaranya Undang-undang tersebut tidak hanya menguntungkan kepentingan pemerintah dan investor tetapi justru menyengsarakan nelayan termasuk perempuan nelayan. ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar