“Hanya bangsa yang
besar yang menghargai jasa para pahlawannya”.
Kisah perjuangan dan sepak terjang Tan Malaka
kini mungkin sudah mulai dikenal luas oleh masyarakat. Pemunculan nama Tan
Malaka dalam khasanah sejarah Indonesia sebagai pahlawan yang hampir terlupakan
menjadi consern Harry A Poeze. Lelaki kelahiran 1947, yang
juga mantan Kepala Penerbit KITLV di Leiden Belanda, ini mendedikasikan dirinya
untuk menguak jejak langkah Tan Malaka dalam kancah perpolitikan Indonesia. Ia
menuangkan hasil penelitiannya dalam sebuah buku berjudul ‘Tan Malaka:
Gerakan Kiri dan Revolusi Indonesia‘.
Setelah melakukan bedah buku dan bertutur
tentang sosok Tan Malaka di berbagai kota, kali ini bedah buku berjudul ‘Tan
Malaka: Gerakan Kiri dan Revolusi Indonesia’, yang rencananya di gelar di
Surabaya, justru berhadapan dengan pembatalan dan pelarangan yang dilakukan
oleh Front Pembela Islam, Jumat, tanggal 7 Februari 2014.
Bedah buku Tan Malaka sedianya digelar di
perpustakaan C20 di Surabaya, tapi karena ada pelarangan maka bedah buku
akhirnya dipindahkan di salah satu kampus swasta di Kota Kediri. Kejadian
tersebut patut disayangkan. Apalagi praktek pelarangan terhadap sebuah kajian
sejarah tentang Tan Malaka yang jasanya sangat besar terhadap republik ini.
Adapun pelarangan dilakukan oleh sebuah ormas
Islam, yakni Front Pembela Islam (FPI). Ironisnya, polisi setempat bukannya
mengamankan berjalannya acara, tetapi justru ikut melarang terselenggaranya
acara dengan alasan khawatir terjadi bentrok antara FPI dengan peserta diskusi.
Lucunya, pelarangan atas bedah buku Tan Malaka disinyalir karena
beredarnya sms(pesan singkat) di kalangan FPI Surabaya yang
menyatakan bahwa akan ada kursus komunisme di perpustakaan C20 Surabaya.
Menilik kejadian di atas kita mencatat bahwa
upaya-upaya Orde Baru yang telah menghilangkan sejarah gerakan kiri
revolusioner dari catatan sejarah Indonesia masih terus berlangsung. Kali ini
lewat ormas Front Pembela Islam.
Sangat disayangkan. Padahal, jika masyarakat
kita mau terbuka dan membaca sejarah, peran Tan Malaka yang merupakan tokoh
dalam buku yang akan dibedah oleh Harry A.
Poeze tidak sedikit dalam sejarah kemerdekaan Indonesia. Jauh sebelum orang
lain mengumandangkan Indonesia merdeka, Tan Malaka sudah menuliskannya
dalam ‘Naar de Republiek Indonesia‘ yang berarti Menuju
Republik Indonesia, pada tahun 1925. Pasca itu hampir seluruh orang
pergerakan, termasuk Soekarno, merujuk pada ide Tan Malaka tersebut.
Sebagai sang proklamator, Soekarno mengakui
Tan Malaka sebagai orang yang paham revolusi, dan buku Tan Malaka yang berjudul
‘Massa Actie’ menjadi inspirasi bagi gerakan dan pidato-pidato Soekarno.
Sayangnya, dalam perjalanan sejarah, Soekarno dan Tan Malaka berseberangan
dalam garis politiknya. Tan Malaka menganggap Soekarno dan Hatta telah
berkolaborasi dengan Belanda dalam upayanya memproklamasikan Indonesia.
Sedangkan, menurut Tan Malaka, Indonesia harus merdeka 100 % tanpa campur
tangan Belanda yang sudah menjajah bangsa Indonesia.
Menurut Tan Malaka, perundingan baru bisa
dilakukan jika Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia 100 persen dan menarik
pasukannya dari wilayah Indonesia. Tan Malaka menyatakan, tak ada penjajah yang
mau memberi kemerdekaan kepada wilayah yang dijajahnya.
“Tuan rumah tak akan berunding dengan maling
yang merampok rumahnya,” demikian prinsip Tan Malaka.
Moh Yamin menulis sebuah artikel di surat
kabar Jakarta, Ra’jat, pada 22 Desember 1945, dengan judul ‘Tan
Malaka Bapak Republik Indonesia.’
Dalam buku ‘Tan Malaka: Gerakan Kiri
dan Revolusi Indonesia‘ Jilid 1 Karya Harry A.
Poeze, dikutip kata-kata Yamin sebagai bentuk kebahagiaannya telah datang
sang Patjar Merah ke bumi pertiwi sebagai berikut :
“Di atas lembaran sedjarah Negara
Indonesia selama lima boelan ini, maka perdjoeangan Rakjat Moerba mengalami
soeatoe kegembiraan jang penoeh dengan kechidmatan sanoebari dan kesjoekoeran
hati terima kasih karena kesoenggoeh-soenggoehan telah sampai kepada kepastian
chabar jang menggirangkan, bahwa di tengah-tengah njalaan api Revolusi Proletariat
Indonesia teroetama di kota Soerabaja tampak tersemboenji ikoet berjoeang
dengan Boeroeh dab Pemoeda gagah perwira di bawah kibaran Merah Poetih
pandji-pandji kedaoelatan internasional seorang poetera Indonesia jang telah
beroemoer kira-kira lima poeloeh tahoen dengan bernama Ibrahim dan memikoel
gelar warisan Tan Malacca, Bapak Republik Indonesia.”
Demikian kagumnya Moh Yamin terhadap sosok
Tan Malaka ini sehingga mensejajarkannya dengan Jefferson dan Washington yang
telah membangun kemerdekaan Amerika Serikat.
Ia (Tan Malaka) pantas menerima segala
kehormatan sebagai Bapak Republik Indonesia, seperti telah diramalkannya di
dalam risalahnya tahun 1924,”
kata Yamin.
Demikianlah sejarah mencatat nama besar Tan
Malaka. Namun faktanya demikian, mudah sekali anak-anak bangsa, yang diwakili
oleh Front Pembela Islam, melupakan fakta sejarah yang ada. Bahkan cenderung
ingin menguburnya dalam-dalam hanya karena Tan Malaka adalah tokoh Partai
Komunis Indonesia—sebuah partai yang mendapatkan perolehan suara besar pada
pemilu tahun 1955. Mereka sangat dangkal, dan tentunya jauh dari rasa adil,
melihat sumbangsih yang diberikan Tan Malaka maupun Partai Komunis Indonesia
dalam sejarah kemerdekaan Indonesia.
Bangsa ini selayaknya menghargai upaya yang
pernah dilakukan oleh Gus Dur. Yakni, ketika dengan keberanian yang luar biasa,
Gus Dur mengajukan wacana pencabutan Tap MPRS XXV Tahun 1966 tentang pembubaran
PKI dan pernyataan pelarangan ide Marxisme, karena produk hukum itu dianggap
sudah usang.
Adapun argumentasi yang disampaikan oleh Gus
Dur mengcakup tiga hal, yakni: pertama, bahwa konsep-konsep Marxisme telah
dipelajari secara terbuka di lingkungan perguruan tinggi. Kedua, era komunis
telah berakhir seiring runtuhnya negara Uni Sovyet. Ketiga, dendam sejarah masa
lalu harus disingkirkan demi menata kehidupan Indonesia yang lebih baik.
Kenyataannya bangsa ini belum tuntas didera
oleh dendam sejarah dan stigma buruk terhadap PKI yang dijadikan alat
melanggengkan kekuasaan Orde Baru. Sehingga wacana yang dikumandangkan oleh Gus
Dur yang saat itu menjabat sebagai Presiden RI tidak diterima secara utuh.
Bahkan, yang terjadi adalah upaya pelengseran Gus Dur dari kursi kepresidenan
secara konstitusional. Dan selaku Ketua MPR Amien Rais memimpin sidang istimewa
yang berujung pada pengukuhan kembali Tap MPRS XXV Tahun 1966 dan secara
konstitusi menurunkan Gus Dur dari jabatan Presiden.
Melihat pamer kekuatan yang dipertontonkan
oleh segelintir orang yang mengatasnamakan Front Pembela Islam dengan
membubarkan sebuah diskusi ilmiah sosok Tan Malaka yang dijuluki Bapak Republik
Indonesia, Kita sebagai bangsa menjadi waspada bahwa pesan humanis Gus Dur
kepada seluruh rakyat Indonesia untuk bisa saling memaafkan dan mengikis dendam
masa lalu belum mendapatkan ruang dan tempat. Sehingga bangsa ini seakan-akan
hidup pada masa lalu dan susah untuk menata masa depan yang lebih baik dan
bermartabat.
Mungkin Front Pembela Islam atau sebagian
besar umat Islam lupa bahwa Tan Malaka juga seorang Muslim yang taat dan salah
satu tokoh penting dalam pembangunan Sarekat Islam, sebuah organisasi Islam
revolusioner pertama di dunia yang beranggotakan buruh-buruh miskin dan
memiliki jutaan anggota. Sebagai Muslim yang menganut paham Marxisme dan
Komunisme, Tan Malaka menuangkan teorinya tentang Madilog (Materialisme
Dialektika Logika) dalam sebuah buku yang merupakan perenungan dan
pengkritisannya atas teori Materialisme Dialektika Historis (MDH). Berdasarkan
teori Madilog ini, menurut Tan Malaka, ketika menghadap Tuhan dia seorang
Muslim. tetapi dihadapan manusia dia bukan Muslim (komunis).
Bagi Tan Malaka, Islam dan Indonesia
menghadapi masalah yang sama yakni kolonialisme dan imperialisme. Sehingga
dalam sebuah Kongres Komunis Internasional ke-4, Tan Malaka menyampaikan
perlunya Komintern mendukung perjuangan Pan Islamisme, karena jika Pan
Islamisme tidak dirangkul dan didukung, maka kekuatan Islam akan dimanfaatkan
oleh pemerintah dan dipakai untuk memperluas propaganda anti komunis. Padahal,
di medan perjuangan sebenarnya, buruh-buruh miskin dalam Sarekat Islam dan
buruh-buruh yang digerakkan oleh PKI menghadapi musuh yang sama, yakni
penindasan kolonialisme Belanda.
Permintaan dukungan bagi perjuangan Pan
Islamisme di Komintern saat itu memang tidak disepakati, tetapi pidato Tan
Malaka tentang keberadaan Sarekat Islam dan pentingnya menggandeng Kaum Islam
mendapat tepukan tangan yang sangat meriah dari para hadirin.
Jika menengok sejarah, kita melihat bahwa
para tokoh perjuangan kemerdekaan Indonesia begitu dekat dengan teori Marx dan
Engels. Salah satunya adalah Tjokroaminoto, yang dalam sebuah biografinya yang
ditulis oleh Amelz dan diterbitkan Penerbit Bulan Bintang pada hal 37
menyatakan bahwa : “Beliau (Tjokroaminoto) dalam kursusnya tidak mencela
Marx dan Engels, bahkan berterima kasih pada keduanya sebab teori Historis
Materialisme dan Engels, -kata beliau-, telah membawa jelasnya bagaimana
kesatuan sosialisme yang dibawa Nabi Muhammad.”
Menurut Tjokroaminoto, sosialisme sebagai
cita-cita kemasyarakatan sejalan dengan Islam sepanjang sosialisme bertujuan
untuk memperbaiki nasibnya golongan manusia termiskin dan terbanyak
bilangannya, agar supaya mereka bisa mendapatkan nasib yang sesuai dengan
derajat manusia.
Dengan merujuk dan belajar pada sejarah, FPI
semestinya paham dan mampu meletakkan posisi Tan Malaka sebagai Bapak Republik
Indonesia, sebagaimana Moh Yamin memberi penghormatan kepada Tan Malaka. Dan
bukannya bersikap arogan dan tanpa berpikir panjang melarang bahkan
menghalang-halangi terlaksananya diskusi ilmiah dan bedah buku tentang Tan
Malaka.
Dan jika sikap picik seperti FPI ini terus
dilanggengkan, bisa jadi bangsa Indonesia masih harus menempuh jalan panjang
untuk menjadi bangsa yang besar. ***
Jakarta,
11 Pebruari 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar