Laman

Minggu, 01 Januari 2017

Tan Malaka, Pejuang yang Terlupakan

Hanya bangsa yang besar yang menghargai jasa para pahlawannya.
Kisah perjuangan dan sepak terjang Tan Malaka kini mungkin sudah mulai dikenal luas oleh masyarakat. Pemunculan nama Tan Malaka dalam khasanah sejarah Indonesia sebagai pahlawan yang hampir terlupakan menjadi consern Harry A Poeze. Lelaki kelahiran 1947, yang juga mantan Kepala Penerbit KITLV di Leiden Belanda, ini mendedikasikan dirinya untuk menguak jejak langkah Tan Malaka dalam kancah perpolitikan Indonesia. Ia menuangkan hasil penelitiannya dalam sebuah buku berjudul ‘Tan Malaka: Gerakan Kiri dan Revolusi Indonesia‘.
Setelah melakukan bedah buku dan bertutur tentang sosok Tan Malaka di berbagai kota, kali ini bedah buku berjudul ‘Tan Malaka: Gerakan Kiri dan Revolusi Indonesia’, yang rencananya di gelar di Surabaya, justru berhadapan dengan pembatalan dan pelarangan yang dilakukan oleh Front Pembela Islam, Jumat, tanggal 7 Februari 2014.
Bedah buku Tan Malaka sedianya digelar di perpustakaan C20 di Surabaya, tapi karena ada pelarangan maka bedah buku akhirnya dipindahkan di salah satu kampus swasta di Kota Kediri. Kejadian tersebut patut disayangkan. Apalagi praktek pelarangan terhadap sebuah kajian sejarah tentang Tan Malaka yang jasanya sangat besar terhadap republik ini.
Adapun pelarangan dilakukan oleh sebuah ormas Islam, yakni Front Pembela Islam (FPI). Ironisnya, polisi setempat bukannya mengamankan berjalannya acara, tetapi justru ikut melarang terselenggaranya acara dengan alasan khawatir terjadi bentrok antara FPI dengan peserta diskusi. Lucunya, pelarangan atas bedah buku Tan Malaka disinyalir karena beredarnya sms(pesan singkat) di kalangan FPI Surabaya yang menyatakan bahwa akan ada kursus komunisme di perpustakaan C20 Surabaya.
Menilik kejadian di atas kita mencatat bahwa upaya-upaya Orde Baru yang telah menghilangkan sejarah gerakan kiri revolusioner dari catatan sejarah Indonesia masih terus berlangsung. Kali ini lewat ormas Front Pembela Islam.
Sangat disayangkan. Padahal, jika masyarakat kita mau terbuka dan membaca sejarah, peran Tan Malaka yang merupakan tokoh dalam buku yang akan dibedah oleh Harry A. Poeze tidak sedikit dalam sejarah kemerdekaan Indonesia. Jauh sebelum orang lain mengumandangkan Indonesia merdeka, Tan Malaka sudah menuliskannya dalam ‘Naar de Republiek Indonesia‘ yang berarti Menuju Republik Indonesia, pada tahun 1925. Pasca itu hampir seluruh orang pergerakan, termasuk Soekarno, merujuk pada ide Tan Malaka tersebut.
Sebagai sang proklamator, Soekarno mengakui Tan Malaka sebagai orang yang paham revolusi, dan buku Tan Malaka yang berjudul ‘Massa Actie’ menjadi inspirasi bagi gerakan dan pidato-pidato Soekarno. Sayangnya, dalam perjalanan sejarah, Soekarno dan Tan Malaka berseberangan dalam garis politiknya. Tan Malaka menganggap Soekarno dan Hatta telah berkolaborasi dengan Belanda dalam upayanya memproklamasikan Indonesia. Sedangkan, menurut Tan Malaka, Indonesia harus merdeka 100 % tanpa campur tangan Belanda yang sudah menjajah bangsa Indonesia.
Menurut Tan Malaka, perundingan baru bisa dilakukan jika Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia 100 persen dan menarik pasukannya dari wilayah Indonesia. Tan Malaka menyatakan, tak ada penjajah yang mau memberi kemerdekaan kepada wilayah yang dijajahnya.
“Tuan rumah tak akan berunding dengan maling yang merampok rumahnya,” demikian prinsip Tan Malaka.
Moh Yamin menulis sebuah artikel di surat kabar Jakarta, Ra’jat, pada 22 Desember 1945, dengan judul ‘Tan Malaka Bapak Republik Indonesia.’
Dalam buku ‘Tan Malaka: Gerakan Kiri dan Revolusi Indonesia‘ Jilid 1 Karya Harry A. Poeze, dikutip kata-kata Yamin sebagai bentuk kebahagiaannya telah datang sang Patjar Merah ke bumi pertiwi sebagai berikut :
Di atas lembaran sedjarah Negara Indonesia selama lima boelan ini, maka perdjoeangan Rakjat Moerba mengalami soeatoe kegembiraan jang penoeh dengan kechidmatan sanoebari dan kesjoekoeran hati terima kasih karena kesoenggoeh-soenggoehan telah sampai kepada kepastian chabar jang menggirangkan, bahwa di tengah-tengah njalaan api Revolusi Proletariat Indonesia teroetama di kota Soerabaja tampak tersemboenji ikoet berjoeang dengan Boeroeh dab Pemoeda gagah perwira di bawah kibaran Merah Poetih pandji-pandji kedaoelatan internasional seorang poetera Indonesia jang telah beroemoer kira-kira lima poeloeh tahoen dengan bernama Ibrahim dan memikoel gelar warisan Tan Malacca, Bapak Republik Indonesia.”
Demikian kagumnya Moh Yamin terhadap sosok Tan Malaka ini sehingga mensejajarkannya dengan Jefferson dan Washington yang telah membangun kemerdekaan Amerika Serikat.
Ia (Tan Malaka) pantas menerima segala kehormatan sebagai Bapak Republik Indonesia, seperti telah diramalkannya di dalam risalahnya tahun 1924,” kata Yamin.
Demikianlah sejarah mencatat nama besar Tan Malaka. Namun faktanya demikian, mudah sekali anak-anak bangsa, yang diwakili oleh Front Pembela Islam, melupakan fakta sejarah yang ada. Bahkan cenderung ingin menguburnya dalam-dalam hanya karena Tan Malaka adalah tokoh Partai Komunis Indonesia—sebuah partai yang mendapatkan perolehan suara besar pada pemilu tahun 1955. Mereka sangat dangkal, dan tentunya jauh dari rasa adil, melihat sumbangsih yang diberikan Tan Malaka maupun Partai Komunis Indonesia dalam sejarah kemerdekaan Indonesia.
Bangsa ini selayaknya menghargai upaya yang pernah dilakukan oleh Gus Dur. Yakni, ketika dengan keberanian yang luar biasa, Gus Dur mengajukan wacana pencabutan Tap MPRS XXV Tahun 1966 tentang pembubaran PKI dan pernyataan pelarangan ide Marxisme, karena produk hukum itu dianggap sudah usang.
Adapun argumentasi yang disampaikan oleh Gus Dur mengcakup tiga hal, yakni: pertama, bahwa konsep-konsep Marxisme telah dipelajari secara terbuka di lingkungan perguruan tinggi. Kedua, era komunis telah berakhir seiring runtuhnya negara Uni Sovyet. Ketiga, dendam sejarah masa lalu harus disingkirkan demi menata kehidupan Indonesia yang lebih baik.
Kenyataannya bangsa ini belum tuntas didera oleh dendam sejarah dan stigma buruk terhadap PKI yang dijadikan alat melanggengkan kekuasaan Orde Baru. Sehingga wacana yang dikumandangkan oleh Gus Dur yang saat itu menjabat sebagai Presiden RI tidak diterima secara utuh. Bahkan, yang terjadi adalah upaya pelengseran Gus Dur dari kursi kepresidenan secara konstitusional. Dan selaku Ketua MPR Amien Rais memimpin sidang istimewa yang berujung pada pengukuhan kembali Tap MPRS XXV Tahun 1966 dan secara konstitusi menurunkan Gus Dur dari jabatan Presiden.
Melihat pamer kekuatan yang dipertontonkan oleh segelintir orang yang mengatasnamakan Front Pembela Islam dengan membubarkan sebuah diskusi ilmiah sosok Tan Malaka yang dijuluki Bapak Republik Indonesia, Kita sebagai bangsa menjadi waspada bahwa pesan humanis Gus Dur kepada seluruh rakyat Indonesia untuk bisa saling memaafkan dan mengikis dendam masa lalu belum mendapatkan ruang dan tempat. Sehingga bangsa ini seakan-akan hidup pada masa lalu dan susah untuk menata masa depan yang lebih baik dan bermartabat.
Mungkin Front Pembela Islam atau sebagian besar umat Islam lupa bahwa Tan Malaka juga seorang Muslim yang taat dan salah satu tokoh penting dalam pembangunan Sarekat Islam, sebuah organisasi Islam revolusioner pertama di dunia yang beranggotakan buruh-buruh miskin dan memiliki jutaan anggota. Sebagai Muslim yang menganut paham Marxisme dan Komunisme, Tan Malaka menuangkan teorinya tentang Madilog (Materialisme Dialektika Logika) dalam sebuah buku yang merupakan perenungan dan pengkritisannya atas teori Materialisme Dialektika Historis (MDH). Berdasarkan teori Madilog ini, menurut Tan Malaka, ketika menghadap Tuhan dia seorang Muslim. tetapi dihadapan manusia dia bukan Muslim (komunis).
Bagi Tan Malaka, Islam dan Indonesia menghadapi masalah yang sama yakni kolonialisme dan imperialisme. Sehingga dalam sebuah Kongres Komunis Internasional ke-4, Tan Malaka menyampaikan perlunya Komintern mendukung perjuangan Pan Islamisme, karena jika Pan Islamisme tidak dirangkul dan didukung, maka kekuatan Islam akan dimanfaatkan oleh pemerintah dan dipakai untuk memperluas propaganda anti komunis. Padahal, di medan perjuangan sebenarnya, buruh-buruh miskin dalam Sarekat Islam dan buruh-buruh yang digerakkan oleh PKI menghadapi musuh yang sama, yakni penindasan kolonialisme Belanda.
Permintaan dukungan bagi perjuangan Pan Islamisme di Komintern saat itu memang tidak disepakati, tetapi pidato Tan Malaka tentang keberadaan Sarekat Islam dan pentingnya menggandeng Kaum Islam mendapat tepukan tangan yang sangat meriah dari para hadirin.
Jika menengok sejarah, kita melihat bahwa para tokoh perjuangan kemerdekaan Indonesia begitu dekat dengan teori Marx dan Engels. Salah satunya adalah Tjokroaminoto, yang dalam sebuah biografinya yang ditulis oleh Amelz dan diterbitkan Penerbit Bulan Bintang pada hal 37 menyatakan bahwa : “Beliau (Tjokroaminoto) dalam kursusnya tidak mencela Marx dan Engels, bahkan berterima kasih pada keduanya sebab teori Historis Materialisme dan Engels, -kata beliau-, telah membawa jelasnya bagaimana kesatuan sosialisme yang dibawa Nabi Muhammad.”
Menurut Tjokroaminoto, sosialisme sebagai cita-cita kemasyarakatan sejalan dengan Islam sepanjang sosialisme bertujuan untuk memperbaiki nasibnya golongan manusia termiskin dan terbanyak bilangannya, agar supaya mereka bisa mendapatkan nasib yang sesuai dengan derajat manusia.
Dengan merujuk dan belajar pada sejarah, FPI semestinya paham dan mampu meletakkan posisi Tan Malaka sebagai Bapak Republik Indonesia, sebagaimana Moh Yamin memberi penghormatan kepada Tan Malaka. Dan bukannya bersikap arogan dan tanpa berpikir panjang melarang bahkan menghalang-halangi terlaksananya diskusi ilmiah dan bedah buku tentang Tan Malaka.
Dan jika sikap picik seperti FPI ini terus dilanggengkan, bisa jadi bangsa Indonesia masih harus menempuh jalan panjang untuk menjadi bangsa yang besar. ***

Jakarta, 11 Pebruari 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar