“Saya memberontak maka saya ada”- Ali
Syariati
Pada tanggal 12 Februari 2014 yang lalu,
masyarakat Iran di beberapa kota besar, termasuk Teheran, turun ke jalan
memasang spanduk, banner dan meneriakkan yel-yel anti Amerika
dan Israel. Ratusan ribu warga turun ke jalan hampir di seluruh Iran
memperingati Revolusi Iran yang terjadi 35 tahun lalu. Revolusi besar Iran
terjadi pada tahun 1979 yang berujung pada tumbangnya diktator Syah Reza pahlevi
yang menjadi boneka Amerika Serikat.
Revolusi Iran sangat penting menjadi
pembahasan dan khazanah pergerakan kaum revolusioner. Seorang pemikir Marxis
bernama fred Halliday mengatakan bahwa kaum marxis dunia merasa iri dengan
revolusi Iran 1979, karena revolusi massal Iran mampu menarik berjuta-juta
rakyat Iran turun ke jalan menumbangkan rezim Syah yang sedang berkuasa dengan
otoriter. Padahal, secara “revolution en massre”, yaitu revolusi yang
benar-benar diledakkan oleh massa seperti Iran itulah – suatu revolusi yang
didorong oleh ide-ide Islam revolusioner – suatu revolusi yang diimpi-impikan
oleh Karl Marx dan Engels selama ini.
Mengenang Revolusi Iran tentunya tak bisa
dilepaskan dari sosok pejuang pemikir Ali Syariati. Walaupun masa hidupnya sangat
singkat yakni 43 tahun, tetapi kontribusi Ali Syariati pada Revolusi Iran
sangat besar. Bahkan dia sering dijuluki sebagai salah seorang Ideolog Revolusi
Iran. Karena ketajaman tulisan dan pidato-pidatonya yang mempengaruhi sebagian
besar murid dan mahasiswanya serta menyebar luas di kalangan kelas menengah,
dia harus membayar mahal dengan bolak-balik dipenjara oleh rejim Syah Iran dan
dibunuh oleh intelijen rejim Syah Iran, SAVAK.
Riwayat hidup Ali Syariati
Lahir di Mazinan, di pinggiran Kota Masyad,
Provinsi Sabvezar, di timur laut Khurasan, Iran. Tepatnya pada tanggal 24
November 1933 dengan nama kecil Muhammad Ali Mazinanin. Ia adalah putra sulung
dari pasangan Sayyid Taqi’ Syariati dan Zahra. Sayyid muhammad Taqi’ Syariati
adalah seorang guru spiritual yang disegani di desa tersebut. Pada 1947 dia
mendirikan Pusat Penyebaran Kebenaran Islam dan mencetuskan gerakan
pengambilalihan semua kilang minyak yang dikelola pihak asing di Iran pada
1950. Itulah kenapa darah pemberontak mengalir dalam diri Ali Syariati.
Kecintaan dan penghormatan kepada sang ayah
yang menjadi guru sekaligus orang yang sangat berpengaruh dalam kehidupannya
dituangkan dalam sebuah tulisan: “Ayahku membentuk dimensi-dimensi pertama
batinku. Dialah yang mula-mula mengajariku seni berfikir dan seni menjadi
manusia. Begitu ibu menyapihku, ayah memberikan kepadaku cita-cita kemerdekaan,
mobilitas, kesucian, ketekunan, keikhlasan serta kebebasan batin. Dialah yang
memperkenalkan aku kepada sahabat-sahabatnya – ialah buku-bukunya; mereka
menjadi sahabat-sahabatku yang tetap dan karib sejak tahun-tahun permulaan
sekolahku. Aku tumbuh dan dewasa dalam perpustakaannya. Banyak hal yang
sebetulnya baru akan kupelajar kelak bila aku telah dewasa, melalui rangkaian
pengalaman yang panjang dan harus kubayar dengan usaha dan perjuangan yang
lama, tetapi ayahku telah menurunkannya kepadaku sejak masa kanak-kanak dan
remajaku secara mudah dan spontan. Aku dapat mengingat kembali setiap bukunya,
bahkan bentuk sampulnya. Teramatlah cintaku akan ruang yang baik dan suci itu;
bagiku ia merupakan sari masa lampauku yang manis, indah tetapi jauh.”
Setelah menyelesaikan sekolah, Ali Syariati
masuk sekolah Guru. Pada tahun 1952, Ali Syariati mulai mengajar di Sekolah
Menengah Umum sembari kuliah di Universitas Mashdad dan ketemu jodohnya. Adalah
Pouran Syariat Razavi, yang kemudian dinikahi oleh Ali Syariati, dan mereka
dikaruniai empat anak, yakni Ehsan, Susan, Sara dan Mona.
Untuk menyalurkan semangat pergerakannya dia
membentuk Persatuan Pelajar Islam yang menyebabkan dia harus ditangkap karena
melakukan unjuk rasa menentang kemiskinan. Tahun berikutnya dia mendaftar
menjadi anggota Front Nasional. Lulus kuliah pada tahun 1955, dan dua tahun
kemudian, ia kembali ditangkap bersama 16 anggota Gerakan perlawanan nasional
lantaran dianggap berbuat makar.
Pada April 1959, Syariati mendapat beasiswa
di Universitas Sorbonne, Ibukota Paris, perancis, karena prestasi akademiknya.
Awalnya dia berangkat seorang diri, tetapi setahun kemudian Istri dan anaknya
menyusul. Selama di Paris dia berkenalan dengan ide-ide baru dari banyak tokoh
intelektual barat, seperti Louis Massignon, Frantz Fanon, Jacques Berque dll.
Dari sinilah Ali Syariati mengambil ide-ide tentang kemapanan, kesetaraan,
kejujuran dari barat yang kemudian dipadukan dengan nilai-nilai Islam.
Pada tahun 1959, setahun setelah dia mendapat
gelar mahasiswa terbaik, dia bergabung dengan Barisan Nasional Pembebasan
Aljazair. Dan kembali ditangkap di paris pada tahun 1961 saat menghadiri aksi
solidaritas terbunuhnya pemimpin pembebasan Kongo, Patrice Lulumba. Ali
Syariati kembali ke Iran tahun 1964 setelah menyelesaikan studi strata tiga.
Sewaktu tiba di bandara, dia sempat ditahan atas kegiatan politiknya semasa
kuliah di perancis. Tetapi beberapa minggu kemudian dibebaskan.
Dengan gaya orasi yang menggugah semangat
serta tema-tema kritis dalam setiap perkuliahan membuat Ali Syariati dicintai
mahasiswa dan kalangan kelas menengah. Hal ini membuat ketar-ketir Rejim Syah
Iran, sehingga setiap perkuliahan Ali Syariati diawasi oleh dinas rahasia Iran
(SAVAK).
Setelah kegiatannya dibatasi sedemikian rupa,
Ali Syariati memilih meninggalkan Iran dan pergi ke Inggris. Tiga minggu
kemudian Ali Syariati ditemukan meninggal di Southampton, Britania
Raya, pada tanggal 19 Juni 1977. Spekulasi yang berkembang bahwa Ali
syariati mati dibunuh oleh agen SAVAK. Jenazahnya dikebumikan di Damaskus,
Siria.
Pemikiran Sang Raushanfikr
Meski Ali Syariati tidak mengalami jalannya
revolusi, akan tetapi sumbangan pemikiran dan perannya sangat menentukan.
Bahkan Ali Syariati dikenal sebagai arsitek dan ideolog Revolusi Iran.
Ali Syariati terlibat dalam gerakan
revolusioner bukanlah tiba-tiba, tetapi jiwa pemberontaknya diwariskan dari
sang ayah. Pada usia yang sangat belia, yakni 7 tahun, Ali Syariati telah
bergabung dengan Gerakan Sosialis Penyembah Tuhan dan Pusat Penyebaran Islam
yang didirikan oleh ayahnya. Di tahun 1950, dia aktif dalam gerakan rakyat dan
nasionalis untuk menasionalisasi industri minyak Iran bersama sang ayah.
Keprihatinannya muncul ketika melihat
mayoritas masyarakat Iran yang miskin di tengah industri minyak yang begitu
berlimpah. Sebagai negara penghasil minyak yang besar, Iran hanya memberikan
keuntungannya yang besar kepada dunia barat. Tidak hanya menyedot keuntungan
minyak Iran, barat juga mengendalikan ekonomi politik Iran. Sementara rakyat
Iran hanyalah menjadi buruh dan kelas pekerja yang miskin dan ditindas.
Demikianlah Iran di bawah Syah Reza Pahlevi kala itu; hanya menjadi negara
boneka yang dikendalikan oleh Amerika Serikat.
Ali Syariati sangat menentang perbudakan dan
penindasan yang dilakukan atas nama pembangunan monumen-monumen sejarah
peradaban yang ditebus dengan kematian dan kuburan para budak atau yang dia
sebut dengan –mengorbankan darah dan daging nenek moyangku.
Sebagai negara dunia ketiga yang mayoritas
penduduknya adalah Islam Syiah, Iran dan negara dunia ketiga lainnya sedang
menderita penyakit “westruckness” (mabuk kepayang terhadap Barat dan
materialism syndrom). Kapitalisme yang rakus dan selalu memproduksi dan
menjadikan negara dunia ketiga sebagai pasarnya, membentuk sikap konsumerisme
di masyarakat. Sikap menghamba pada kebendaan, budaya dan gaya hidup ala barat
serta sikap konsumerisme ini pada akhirnya membuat masyarakat menjadi
teralienasi (terasing) dari budaya bangsanya sendiri. Padahal, senyatanya gaya
hidup modernisme barat tidaklah selamanya mengantarkan kebahagiaan dan
ketentraman hidup.
Menghadapi syndrom yang serba kebarat-baratan
itu, Ali Syariati ingin membuktikan bahwa Islam tidaklah reaksioner, pasif, dan
status quo. Islam justru menggerakkan manusia melawan berhala-berhala peradaban
duniawi. Islam adalah revolusioner, yaitu menata perubahan hidup dari sistem
jahiliyyah menuju sistem yang berkeadaban dan berkemanusiaan.
Islam, menurut Ali Syariati, mempunyai
pandangan Tauhid, yakni menuntut manusia hanya takut pada satu kekuatan, yaitu
kekuatan Tuhan. selain Tuhan, yang lain hanyalah kekuatan yang tidak mutlak
alias palsu. Tauhid menjamin kebebasan manusia dan memuliakan hanya semata
kepada-Nya. Pandangan ini menggerakkan manusia untuk melawan segala kekuatan
dominasi, belenggu, dan kenistaan manusia atas manusia. Tauhid memiliki esensi
sebagai gagasan yang bekerja untuk keadilan, solidaritas, dan pembebasan.
Berikut
adalah cuplikan kalimat dalam teologi pembebasan Ali Syariati :
Bagi Dia, Tauhid berarti Keesaan (Oneless)
Bagi kita, Tauhid adalah kesatuan (unity)
KepadaNya, Tauhid berarti penghambaan
Kepada kita, Tauhid bermakna pembebasan
Untuk Dia, Tauhid adalah pemujaan tanpa syarat
Untuk kita, Tauhid adalah persamaan tanpa kelas.
Bagi kita, Tauhid adalah kesatuan (unity)
KepadaNya, Tauhid berarti penghambaan
Kepada kita, Tauhid bermakna pembebasan
Untuk Dia, Tauhid adalah pemujaan tanpa syarat
Untuk kita, Tauhid adalah persamaan tanpa kelas.
Ali Syariati mendefinisikan bahwa bila
merindukan perubahan, maka dibutuhkan Raushanfikr (orang-orang
yang tercerahkan), yakni individu-individu yang sadar dan bertanggung
jawab membangkitkan karunia Tuhan Yang Mulia, yaitu “kesadaran diri”
masyarakat. Sebab hanya kesadaran diri yang mampu mengubah rakyat yang statis
dan bobrok menjadi suatu kekuatan yang dinamis dan kreatif.
Sosialisme dalam perspektif Ali Syariati
adalah paham yang berpihak pada kaum tertindas (mustadzafin) dan
meluruskan perjalanan sejarah dari kekuasaan tiran menjadi kelompok
tercerahkan, berpihak pada kelas bawah (proletar) bersama orang-orang
yang berada di jalan Tuhan. Dari sinilah, revolusi Iran mendapatkan
tempat dan mulai ada kesadaran untuk perubahan yang lebih baik, keberanian
untuk bergerak dan kesadaran kelas mulai menggeliat. ***
Jakarta,
19 Februari 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar