Sistem ekonomi pasca reformasi ditandai
dengan menguatnya semangat liberalisme ekonomi. Dalam hubungan dengan itu,
kebijakan perekonomian Indonesia makin terdikte oleh IMF dan Bank Dunia.
Padahal, kedua lembaga ini punya andil dalam menjerumuskan Indonesia dalam
krisis ekonomi tahun 1997.[i]
Liberalisasi ekonomi yang sedang bekembang
ini seringkali disebut dengan neolib (neo-liberalisme) yang
merupakan bentuk baru dari sistem kapitalisme. Sepanjang pertengahan hingga
akhir abad 19, kapitalisme memasuki tahap yang tertinggi yakni imperialisme.
Hingga saat ini imperialisme ini masih berlangsung yang tercermin dari merajalelanya
modal-modal raksasa untuk menguasai dunia melalui berbagai cara. Dalam bentuk
baru yang dikenal dengan nama neoliberalisme ini kapitalisme telah mengusung
“semangat kompetisi bebas”—sebagai pembenaran atas penghisapan dengan monopoli.
Tahap kapitalisme monopoli ditandai oleh
ciri-ciri dasar sebagai berikut: (1) konsentrasi produksi dan modal; (2) fusi, merger atau
penggabungan modal bank dengan modal industri dan munculnya dengan suatu oligarki
financial; (3) ekspor modal; (4) terbentuknya perusahaan-perusahaan
monopoli internasional yang membagi-bagi dunia ke dalam genggamannya.
Kata “neoliberalisme”, sebenarnya, merujuk
pada prinsip-prinsip gagasan liberal klasik yang dicetuskan oleh Adam Smith.
Sistem doktrinnya dikenal dengan “Washington Consensus” yang diprakarsai
oleh perusahaan-perusahaan multi-nasional. Bedanya dengan liberalisme lama,
dalam neoliberalisme ini yang mengalami internasionalisasi adalah kekuatan
pengendali modal.
Neoliberalisme yang dianggap jawaban dari
krisis ekonomi dalam paham liberal mempunyai ciri-ciri antara lain:
swastanisasi terhadap perusahaan-perusahaan negara, liberalisasi arus
perdagangan dan modal, deregulasi sektor-sektor swasta, peniadaan kontrol
harga, penghapusan subsidi, pemotongan atas program-program sosial dan sebagainya.
Dalam prakteknya, neoliberalisasi sangat
berdampak pada kehidupan masyarakat Indonesia. Amanat UUD 1945 yang menjamin
bahwa seluruh kekayaan negara diperuntukkan bagi sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat menjadi terabaikan. Hal ini bisa kita lihat pada praktek-praktek
penghapusan subsidi bagi rakyat seperti subsidi BBM yang berakibat langsung
pada adanya kebijakan kenaikan harga BBM, subsidi pupuk, dll. Demikian pula
pemotongan atas program-program sosial, hal ini sangat jelas merugikan rakyat.
Neolib jelas hanya menguntungkan segelintir ellit yang mengabdi dan
berkolaborasi dengan para pemilik modal, sementara rakyat Indonesia yang
jumlahnya mayoritas nasibnya terombang-ambing dan tak jelas. Sehingga ada
istilah yang sangat populer untuk menggambarkan nasib rakyat Indonesia, yakni:
“yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin”.
Sebagai bagian dan elemen masyarakat, kaum
perempuan merasakan kerugian yang tak sedikit dari sistem neoliberal ini.
Ketika subsidi BBM dicabut dengan alasan apapun, kaum perempuanlah yang
pertama-tama merasakan dampaknya. Diantara dampak kenaikan BBM tersebut adalah;
harga-harga sembako menjadi naik dan melambung tinggi, adanya kenaikan TDL
(tarif dasar listrik), dan kenaikan tarif transport, dlsb. Kebijakan
pengurangan subsidi ini selalu dibarengi dengan adanya pembagian BLSM (Bantuan
Langsung Sementara Masyarakat) yang sering diplesetkan dengan balsem atau BLT
(Bantuan Langsung Tunai), tetapi dalam pelaksanaannya justru sering menimbulkan
banyak masalah, seperti adanya kisruh dalam pembagian, konflik horisontal
antara masyarakat penerima bantuan dengan aparat pelaksana seperti RT, RW dan
kelurahan dan munculnya mental pengemis yang akut dalam masyarakat.
Negara yang seharusnya memberi jaminan atas
perlindungan sosial terhadap warga negara sebagaimana amanat Undang-Undang
Dasar 1945, kini pelan-pelan melepaskan tanggung jawabnya dan melimpahkan
tanggung jawabnya kepada pihak swasta. Inilah yang kemudian disebut dengan
privatisasi atas sektor-sektor penting yang menguasai hajat hidup masyarakat
banyak. Pendidikan yang merupakan hak dasar rakyat dan harus dipenuhi oleh
negara sekarang sudah dikomersilkan. Demikian pula kesehatan yang juga hak
dasar rakyat, pelan-pelan dilepaskan kepada swasta dengan cara mengharuskan
rakyat membayar premi atas asuransi (perubahan dari Jamkesmas ke BPJS/Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial). Inilah yang menyebabkan pendidikan dan kesehatan
bukan lagi menjadi hak dasar rakyat yang harus dipenuhi negara, tetapi malah
menjadi barang dagangan yang mahal bagi rakyat.
Di lain pihak, sumber-sumber daya alam yang
seharusnya dikelola negara untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat malah
diswastanisasi. Sehingga tak ayal lagi kalo kemudian rakyat harus membayar
mahal atas air lewat PDAM, tarif listrik yang semakin tinggi walaupun masih
sering mati dan byar-pet, dan rakyat harus membeli BBM dengan harga
tinggi walaupun sebenarnya Indonesia adalah produsen bahan bakar minyak. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar