Ketika
terjadi gerakan reformasi melawan tirani Soeharto, mulailah muncul
bentuk-bentuk perjuangan perempuan progresif. Bahkan, organisasi gerakan
perempuan merupakan salah satu organisasi yang pertama kali turun ke jalan di
tahun 1998. Mereka melakukan demonstrasi memprotes rezim otoriter Orde Baru
yang melakukan pemusatan kekuasaan dalam hampir semua aspek kehidupan. Berbekal
kekuatan jaringan dan keterampilan dalam membangun strategi yang terlatih,
mereka menghimpun diri dalam suatu organisasi bernama Suara Ibu Peduli.
Organisasi ini semula bertujuan untuk mendistribusikan susu yang pada saat itu
harganya naik hingga 400 persen, padahal susu sangat dibutuhkan sebagai nutrisi
baik bagi anak maupun bagi ibu-ibu. Dengan isu ‘susu’ tersebut, simpati dari
banyak ibu tumbuh karena memiliki kebutuhan yang sama dan mereka bergabung
dalam organisasi tersebut. Organisasi ini dalam perkembangannya tidak hanya
berfungsi mendistribusikan susu, tetapi juga membagi-bagi makanan kepada para
demonstran, terutama untuk para mahasiwa, baik di jalan-jalan utama maupun di
gedung parlemen.
Sebelumnya,
tiga hari menjelang Presiden Soeharto turun, berdiri pula Koalisi Perempuan
Indonesia untuk Keadilan dan Demokrasi (KPI). Organisasi ini didirikan atas
inisiatif para aktivis perempuan di Jakarta dan didukung kurang lebih 75
aktifis perempuan lainnya dari berbagai tempat di tanah air sebagai bentuk
perlawanan terhadap pemerintah Orde Baru. Sampai saat itu orba mengendalikan
secara cermat dan sistematis organisasi-organisai perempuan ketika itu seperti
Kowani, Dharma Wanita, Dharma Pertiwi, Aisyiah, Muslimat NU dan
organisasi-organisasi lainnya. Kelahiran organisasi ini didasarkan pada
semangat hendak mengembalikan keberadaan organisasi gerakan perempuan berbasis
massa independen tanpa kendali negara. Karena itu, untuk mengingatkan peran
sejarah peran gerakan perempuan ini, kongres pertama dilakukan di Yogyakarta,
tempat Kongres Pertama Perkumpulan Pergerakan Perempuan Indonesia pada tahun
1928 diadakan. Kongres ini menghadirkan kurang lebih dari 500 orang dari
pelbagai latar belakang organisasi perempuan dari seluruh Indonesia dengan
menegaskan perlunya mengetengahkan kembali peran politik perempuan yang lebih
luas, baik dalam ranah domestik maupun publik.
Disaat
teridentifikasi bahwa banyak perempuan yang mengalami perkosaan pada peristiwa
Mei 1998, sejumlah perempuan mendatangi presiden baru BJ Habibie untuk
menyampaikan bahwa negara harus bertanggung jawab terhadap kekerasan pada
perempuan yang berlangsung pada Mei 1998 tersebut. Dari kunjungan terhadap
presiden tersebut, berdirilah Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan
(Komnas Perempuan) dengan mandat utama dari presiden adalah menciptakan situasi
yang kondusif untuk penghapusan kekerasan terhadap perempuan, melakukan
pemantauan atasnya dan memberi masukan kepada para pengambil kebijakan untuk
memastikan bahwa setiap kebijakan tidak diskriminatif yang berdampak kekerasan
terhadap perempuan.
Di
Era Reformasi ini mereka melakukan konsolidasi gerakan dan menggolkan perbagai
peraturan perundang-undangan seperti Undang-Undang Penghapusan Kekerasan dalam
Rumah Tangga (PKDRT) di tahun 2004, mendesakkan kebijakan Instruksi Presiden (Inpres)
No.9 tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender Dalam
Pembangunan yang hendak mewujudkan bahwa semua departemen pemerintah, termasuk
birokrasi di daerah harus memberlakukan pengarusutamaan gender dengan
penekanannya pada program penguatan institusi. Ide-ide gerakan perempuan pun
tidak hanya mewarnai beragam aturan dan kebijakan, tetapi juga mendorong tumbuh
dan berkembangnya organisasi-organisasi gerakan perempuan dalam kelompok civil
cociety. Organisasi-organisasi tersebut misalnya Pemberdayaan Perempuan Kepala
Keluarga (PEKKA), Migrant Care, KAPAL Perempuan.
Organisasi
perempuan juga tumbuh subur di lingkungan Islam, antara lain: Rahima, Fahmina,
Lembga Kajian Islam dan Sosial (LKIS). Organisasi-organisasi gerakan
perempuanpun tumbuh dan berkembang di pelbagai daerah di Indonesia, seperti
SAPA Institut dan Institut Perempuan di Bandung, Legal Research Center untuk
Keadilan Gender dan Hak Asasi Manusia (LRCKJHAM) di Semarang, Nurani Perempuan
di Padang, Sumatera Barat, DPIA (Duek Pakat Inong Aceh) dan Inong
Bale di Aceh, Suara Parangpuan di Mando, Lembaga
Pemberdayaan Perempuan (LPP) di Bone, Sulawesi Utara, dan Lembaga Tim Relawan
untuk Kemanusiaan-Flores (TRUK-F).
Organisasi-organisasi
gerakan perempuan di daerah memiliki fokus kerja yang kurang lebih sama dengan
organisasi gerakan perempuan di tingkat nasional, meskipun ada program-program
khusus yang terkait dengan kebutuhan lokal setempat.
Program-program
tersebut diantaranya adalah:
1.
Penghapusan kekerasan
terhadap perempuan;
2.
Pendidikan pemilih
bagi perempuan;
3.
Mendorong perempuan
untuk menjadi bagian dari pengambil keputusan dengan mendorong isu
kepemimpinan politik perempuan;
4.
Pemberdayaan
perempuan di pedesaan;
5.
Mendorong akses
keadilan bagi perempuan korban;
6.
Penguatan ekonomi perempuan
dalam bentuk koperasi, terutama bagi perempuan pekerja migran
dan perempuan eks prostitusi;
7.
Mendorong kebijakan
pemerintah untuk memiliki anggaran yang memperhatikan keadilan gender
Meskipun
gerakan perempuan semakin luas dan berkembang, tetapi terdapat sejumlah
tantangan yang harus dihadapi. Tantangan tersebut muncul di tingkat internal
maupun di tingkat eksternal. Tantangan bagi gerakan perempuan antara
lain: pertama, belum kuatnya gerakan yang berbasis
kesukarelaan diantara anggota gerakan, sehingga ia memiliki ketergantungan
pendanaan dari donor internasional. Ketika pendanaan dari donor internasional
itu dihentikan, maka banyak organisasi-organisasi gerakan perempuan tidak dapat
beroperasi lagi, karena tidak ada program yang bisa dijalankan. Akibat tidak
ada dana pula, maka para aktor gerakan banyak yang keluar dari organisasi
gerakan dan berpindah kepada lembaga-lembaga yang menjamin dari aspek ekonomi. Kedua,
belum kuatnya kader-kader baru yang dapat melanjutkan gerakan perempuan ke
depan, sehingga belum terjadi penyebaran pengetahuan dan keahlian kepada
generasi berikutnya di dalam anggota gerakan. Ketiga,
gerakan perempuan pun cenderung terbagi ke dalam pelbagai faksi karena
perbedaan pandangan dan strategi gerakan, sehingga kurang terjadi aksi,
refleksi dan aksi bersama dalam menghadapi tantangan yang dapat melemahkan
gerakan perempuan. Organisasi-organisasi gerakan perempuan cenderung sibuk
dengan pelaksanaan programnya masing-masing, sehingga kurang terjadi interaksi
antar anggota gerakan.[i] Keempat,
yang lebih bersifat eksternal, tidak adanya perspektif politik dalam gerakan
perempuan yang menempatkan persoalan bangsa sebagai persoalan perempuan dan
sebaliknya (persoalan perempuan sebagai persoalan bangsa). Orde baru berhasil
menjauhkan gerakan perempuan dari politik, sementara era reformasi belum mampu
membangkitkan kembali perspektif yang maju tersebut sebagaimana sejarah gerakan
perempuan Indonesia mencatatnya. ***
[i] Gerakan Perempuan di
Era Reformasi: Capaian dan Tantangan. Neng Dara
Affiah. Disampaikan dalam acara Refleksi Ulang Tahun ke-15 Komnas Perempuan
“Merekam Jejak Sejarah Gerakan Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan bersama
Komnas Perempuan’ pada 22 Oktober 2013 di Hotel Bidakara, Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar