"Lewat tulisan Anda menemukan teman yang
selalu menerima tanpa menghakimi karena tulisan adalah keluarga yang selalu menerima" - anonim.
Ini
adalah pengalaman pribadiku, sebagai salah satu korban KDRT yang sempat
dipisahkan dari anak-anak dan diusir dari rumah karena ada perempuan lain dalam
rumah tangga. Trauma berkepanjangan pastilah menghantui. Bagaimana tidak,
kesakitan yang aku alami akibat pukulan fisik, sumpah serapah dan makian yang
harus aku terima begitu dalam membekas. Tak jarang semua makian dan sumpah
serapah itu diam-diam aku amini dalam hati, sehingga muncul sikap menyalahkan
diri sendiri. Aku memang perempuan tak tahu diuntung dan perempuan tak
bermoral. Tiba-tiba rasa sakit tak terkira menghunjam, perasaan sudah berkorban
dan mengalah sedemikian rupa tapi harus menerima pengkhianatan dari
satu-satunya orang yang dengannya kita bersetia hati.
Aku
dikaruniai dua anak perempuan yang memiliki karakter berbeda. Masing-masing
menjalani masa traumanya secara berbeda pula. Si sulung yang melihat kejadian
KDRT yang menimpa ibunya sedang memasuki masa remaja, menjadi pemurung dan
pendiam di lingkungan sekolah dan teman sebayanya. Menurut diagnosis dari tim
dokter di RSJ Soerojo Magelang, si sulung dinyatakan depresi dan mendapat
terapi obat. Karena aku tidak bisa mendampinginya saat kami dipisahkan, hanya
pernah mendengar ceritanya lewat sms bahwa tiap pagi dia harus minum obat yang
rasanya seperti karet. Dan di sekolah dia menjadi mengantuk. Di rumah dia
menjadi uring-uringan dan pemarah. Beruntung dalam kasus ini si kecil belum
ditemukan tanda-tanda depresi. Menurut dokter si kecil bisa mengompensasikan
kesedihan dan kemurungannya karena tidak bertemu dengan ibunya dengan cara
bermain. Walhasil dia masih tumbuh sebagai anak yang wajar. Lepas dari dampak
psikis yang ada, secara fisik si sulung maupun si kecil dua-duanya menunjukkan
tanda-tanda obesitas dan kelebihan berat badan.
Aku
ingin berbagi pengalaman tentang bagaimana menghapus trauma akibat kekerasan
dalam rumah tangga. Aku dan anak sulungku mempunyai hobi yang sama dalam hal
menulis. Bedanya aku suka menulis non fiksi seperti artikel, opini, memoar dll.
Sedangkan anakku lebih suka menulis fiksi terutama cerpen atau novel. Dengan
menulis non fiksi kita butuh membaca, merenung dan berpikir. Hal ini sedikit
melenakan beban yang tak tertanggungkan. Di momen lain aku menangis, meratap,
marah dan mengumpat lewat tulisan untuk diri sendiri. Belum ada rencana apapun
soal tulisan, tapi kami menikmatinya sebagai sebuah obat hati. Dari hobi
menulis, kami berdua melewati masa-masa sulit akibat trauma.
Tentunya,
tanpa menafikan peran dokter, psikolog, teman dan keluarga yang selalu memberi
dukungan, aku sangat merasakan bagaimana energi negatif akibat kesedihan yang
mendera bisa terlepaskan dengan menulis. Dan setelah itu, muncul sebuah
kelegaan yang luar biasa. Sementara bagi anakku dunia imaji dan ideal yang
menjadi harapannya bisa menjadi sumber ide yang tak kering dalam ceritanya.
Aku
bertekad menghentikan terapi obat yang harus dijalani anakku dengan
memotivasinya lewat kebiasaan menulis. Karena banyak pihak yang menyatakan
bahwa terapi obat pada anak usia 12 tahun sangat merugikan. Pengaruh obat anti
depresan dalam jangka waktu lama pasti berdampak pada perkembangan dan
pertumbuhan syarafnya. Awalnya, aku khawatir bagaimana mengatasi depresi anakku
tanpa obat. Akan tetapi ternyata cara ini cukup ampuh. Setelah membiasakan diri
dan memotivasi anak menulis bersama, kini anakku tak perlu melanjutkan minum
obatnya lagi. Memang harus diakui, selain menulis faktor kuat yang membuat
anakku terlepas dari depresi dan stres adalah bersatunya kembali ibu dan anak
yang lama dipisahkan.
Psikolog
Katharina Amelia Hirawan mengemukakan bahwa menulis merupakan sebuah terapi
terutama bagi penderita gangguan psikologis. Bahkan seorang Psikolog dari
Universitas New South Wales, Keren Baikie mengemukakan bahwa ketika kita
menuliskan peristiwa-peristiwa yang penuh tekanan, emosi dan bersifat
traumatis, kesehatan fisik dan mental kita dapat menjadi lebih baik
dibandingkan ketika kita menulis dengan topik yang netral. Kesimpulan ini
merupakan hasil studi Keren Baikie dengan meminta semua partisipannya untuk
menuliskan tiga sampai lima peristiwa dalam waktu 15 menit dan hasilnya
benar-benar signifikan.
Dalam
jangka panjang terapi menulis ekspresif ini mampu mengurangi kadar stres,
mempersingkat waktu perawatan di rumah sakit, mengurangi tekanan darah, meningkatkan
fungsi sistem kekebalan tubuh, memperbaiki fungsi lever, paru-paru,
meningkatkan mood dan mengurangi trauma.
Karena
menulis merupakan sebuah terapi, mungkin kita akan bertanya: menulis apa dan di media apa yang efektif?
Jawabannya pasti bergantung pada tingkat kenyamanan kita masing-masing. Di era
teknologi, manusia semakin dimanjakan dan dimudahkan. Bagaimana tidak? Hampir
setiap hari kita disuguhi curcol dan kicauan di facebook dan twitter. Menulis
secara simpel curhatan lewat jari jemari dengan toots keypad telepon genggam,
laptop maupun komputer. Ini adalah menulis yang paling simpel dan mudah. Dengan
media ini banyak sahabat kita di dunia maya memedulikan dan dengan sukarela
memberi solusi atau paling tidak memberi penguatan agar kita sabar, tabah dan
lebih kuat menghadapi masalah.
Coba
kita lihat di era buku diary berjaya. Sampai sekarangpun kebiasaan menulis
diary masih sering dilakukan anak-anak remaja atau ABG (Anak Baru Gede).
Diantara kita mungkin juga mengalami hal ini, menuangkan curcol di buku harian
setiap harinya. Nah, coba bedakan perasaan yang muncul setelah kita
menyelesaikan curhatan kita di buku harian dengan sebelum menuliskannya. Pasti
perasaan kita jauh lebih nyaman dan tenang setelah menulis diary. Tak jarang
pula buku harian juga merupakan ungkapan kemarahan, sumpah serapah, dan caci
maki yang selama ini kita pendam. Begitu menumpahkannya semua di buku diary
pastilah emosi kita mereda dan muncul sikap positif kembali memandang hidup.
Tak jarang kita menemukan solusi dari masalah yang sedang kita tulis seketika
itu juga, sehingga kita tak perlu terlalu lama memikirkan dan memendamnya.
Sayangnya
seiring bertambahnya usia dan waktu, kita mulai meninggalkan kebiasaan menulis
diary. Mungkin kita merasa sudah tua dan tak pantas lagi menulis buku harian
sebagaimana para remaja. Tetapi jika mengingat manfaat dan kegunaan menulis
sebagai sebuah terapi seperti uraian di atas, bukankah kita patut
melanjutkannya? Karena ini bukan soal patut tidak patut, pantas tidak pantas,
tapi bagaimana cara memanajemeni emosi kita dari hal yang negatif akibat tak samanya
harapan dengan kenyataan.
Dalam
berbagai kesempatan Writing Camp yang dilakukan oleh Katharina Amelia Hirawan,
ia seringkali menemukan bahwa bukan saja menulis menjadi terapi tetapi menjadi
media pengembangan diri, dan sangat fantastis karena memunculkan banyak
bakat-bakat baru dalam menulis yang akhirnya memotivasi menjadi penulis
buku. Ibu dua putri dan pendiri Biro
Psikologi Sinergi Consultan Surabaya itu mengisahkan, pernah ada seorang baby
sitter yang mampu menulis buku mengenai peran baby sitter hanya dalam waktu
empat hari. Ini merupakan salah satu hasil terapi psikologis dengan menulis.
Demikianlah, bagaimana menulis bisa merupakan terapi bagiku dan anakku. Semoga
dengan berbagi bersama Anda, banyak manfaat yang bisa kita petik bersama. ***
25/4/2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar